PRODI FILM DAN TELEVISI

Agnes Widyasmoro

Judul Karya:

  1. Penulisan Skenario “Benteng Van De Bosch” (Karya Endang Mulyaningsih)
  2. Penulisan Skenario ‘Sketsa Kasih” ( Karya Naskah Dyah Arum R)
  3. Motorcycle Travelogue : Kopi Arabika Kaliangkrik (Dokumenter)
  4. Jare Simbah (Dokumenter)
  5. Story of Inna (Dokumenter)
  6. Palemahan (Dokumenter)
  7. The Doctor without a white suit (Dokumenter)
  8. Apo Lagaan (Dokumenter)
  9. Kidspedia (Program TV)
  10. Tugas Akhir (Fiksi)
  11. Mukhlis (Fiksi)
  12. Rumah Paku (Fiksi)

Kondisi pandemi ini sudah hampir masuk tahun kedua. Kondisi yang memaksa kita untuk bisa merubah berbagai pola dalam kehidupan agar tetap bisa menjalankan aktifitas berdamai dengan pandemi. JMMK ke 13 tahun ini pun dilaksanakan dengan metode daring, hampir sama dengan JMMK tahun sebelumnya yang juga dalam masa pandemi. Namun, kondisi ini tidak meruntuhkan kreativitas dan semangat berkarya, sebaliknya menjadi titik kebangkitan untuk berdamai dan menjalani berbagai aktivitas. Menonton karya, menikmati dan menelisik menjadi aktivitas yang merangsang pikiran, menggelitik ide dan memaksa mengumpulkan residu pemikiran teoritis tersendiri. Apresiasi mendalam terhadap semangat kebangkitan dan kegigihan pencipta yang berkarya di masa pandemi ini.

Pada JMMK ke 13 ini, karya dari Prodi Film dan Televisi yang lolos seleksi banyak didominasi karya dokumenter. Hal ini sangat mungkin dipengaruhi keterbatasan dalam produksi di masa pandemi. Pola produksi dokumenter lebih “bersahabat” dibanding produksi fiksi yang memerlukan tim produksi yang tidaklah sedikit.

Ada 6 karya dokumenter yang cukup apik dengan tema yang sangat menarik, informatif, bahkan beberapa karya bergulat dengan kritik sosial tentang humanisme. Beberapa fokus pada nilai-nilai budaya yang menjadi satu kekhasan Indonesia, yang religius, kekuatan nilai dan gambaran multikultur.

Badan renta semangat membara, mungkin bisa menjadi satu kata yang mewakili subjek yang diangkat dalam dokumenter berjudul Jare Simbah. Melalui dokumenter ini, dokumenteris menyajikan bagaimana sejatinya seorang ibu, yang bahkan telah menjadi nenek tetap memiliki semangat membara untuk menghidupi diri sendiri, bukan karena anak dan cucu tidak mampu. Semangat berjuang telah mendarah daging terbentuk dalam kurun waktu yang lama, mengendap menjadi karakter yang kuat.

Teknik penyutradaraan dokumenter yang dekat dengan gaya cinema verite ini menghadirkan sisi humanis yang lekat. Kedekatan pencipta dengan subjek mampu menyajikan momen-momen personal yang menyentuh, dengan pesan lugas yang dapat mewakili banyak perempuan, ibu, nenek pada masyarakat kita. Secara kritis karya ini mampu menyajikan sosok perempuan yang dibalik kodrat yang lemah lembut memiliki sisi yang bisa melampaui kau adam, tegar, kuat, dan mandiri.

Tema tentang perempuan juga diangkat dalam dokumenter potret Story of Inna. Perempuan dihadirkan dalam perspektif modern. Perempuan dengan permasalahan- permasalahan sosial di potret secara personal. Isu yang digulirkan pada dokumenter ini merupakan permasalahan besar yang kerap termarjinalkan dalam kehidupan sehari-hari, dimana permasalahan seks dianggap suatu bahasan yang tabu dan tidak lebih penting dari permasalahan ekonomi, religi, dsb.

Inna dan samsara merupakan gambaran geliat kehidupan urban, dimana keterbukaan dan kesetaraan hak dan kewajiban dalam hal seksualitas menjadi poin penting yang mesti diperjuangkan. Wanita kerap menjadi korban pada permasalahan ini, dan diam sebenarnya bukan pilihan yang sepenuhnya baik. Nafas feminisme yang dihembuskan dalam dokumenter ini menjadi sangat kuat dengan hadirnya Inna dan cerita masa lalu serta visi misinya yang disampaikan dengan lugas.

Dokumenter potret ekspositoris ini membagi pokok permasalahan dalam beberapa tema, sutradara dengan runtut menempatkan inna sebagai narasumber utama menyampaikan perspektifnya terkait dengan wanita dan permasalahan aborsi. Pengalaman hidup, perjuangannya, dan upaya belajar mencari pengalaman terkait wanita dan aborsi serta permasalahan-permasalahannya. Permasalahan perempuan hadir massif seakan sistematis dan perempuan menjadi objek itu sendiri. Sarat akan sebuah resistensi atas ketidaksetaraan, ketidakadilan terhadap kaum perempuan.

Dokumenter yang tak kalah menarik adalah berjudul The Doctor without a white suit. Ketika pertama kali menonton karya film dokumenter ini, sentuhan humanis, kemanusiaan dan spirit pengabdian tampak jelas mengalir dari setiap frame-nya. Dokumenter ini juga mampu mengetuk hati setiap penontonnya, terlebih untuk ikut merasakan kehidupan di kepulauan indonesia timur. Secara geografis, tempat yang dikunjungi oleh Rumah Sakit Apung RSTKA merupakan wilayang yang kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan, sehingga kehadiran RS Apung beserta dokternya sangat dinantikan. Kritik sosial pada dokumenter ini sangat kuat namun dibangun dengan membumi.

Dokumenteris mampu menyajikan momen-momen riil yang menyentuh, momen yang sangat berharga di setiap pulau yang disinggahi. Kritik sosial mengenai penanganan kesehatan dan fasilitas kesehatan, yang disertai dengan data kematian ibu hamil dan penyandang berbagai penyakit menjadi hal kuat yang harus direnungkan dan bersama-sama dipecahkan.

Pengambilan gambar, penyuntingan gambar, serta atmosfer suara diolah dan diramu dengan sangat baik, sehingga penonton mendapatkan informasi lengkap. Sutradara mengatur 2 narasumber utama untuk menceritakan objek dengan terstruktur dan jelas, dari sejarah hingga eksistensinya. Penekanan pada spirit kebersamaan, rendah hati, cinta kasih, serta pengabdian, secara kuat ditekankan oleh 2 narasumber kunci. Dengan adanya dokumenter ini, berharap bisa membawa kabar tentang RS Apung ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga harapan dan cita-cita masyarakat di Timur Indonesia bisa terwujud.

Kekhasan Indonesia direpresentasikan melalui berbagai hal, salah satunya komoditi yang memiliki nilai tinggi di dunia pada saat ini, yaitu kopi. Kopi menjadi salah satu identitas Indonesia yang mampu menggambarkan kehidupan bangsa ini yang begitu akrab dan selaras dengan alam. Kehadiran kopi telah menjadi magnet yang cukup kuat bagi para pengusaha lokal bahkan investor untuk lebih mendekatkan hasil olahan kopi kepada masyarakat luas. Segala segmen usia remaja dan dewasa seolah-olah telah terpenuhi di setiap sudut sebagian besar kota di Indonesia. Berbagai kafe kopi dengan segala ciri khas brandingnya telah menjadi bagian tren di Indonesia, bahkan dunia. Kopi salah satunya telah menjadi penanda budaya pergaulan pada masa kini. Desa Kaliangkrik merupakan salah satu desa penghasil kopi yang potensial dan speciality coffee Kaliangkrik telah menjadi salah satu jenis kopi yang mulai diminati oleh para pecinta kopi.

Traveling menggunakan sepeda motor dan mengunjungi daerah penghasil kopi menjadi tawaran utama dalam karya ini. Lokasi yang indah dieksplorasi dengan sangat baik dalam dokumenter Motorcycle Travelogue : Kopi Arabika Kaliangkrik, beauty shot dan drone shot mendominasi pengambilan gambar. Penempatan kamera pada talent yang mengendarai sepeda motor, mampu menghasilkan detail lokasi dan kesan natural. Narator yang mengantarkan informasi pada penonton menjadi satu-satunya penutur dalam menjelaskan objeknya. Secara tematis, struktur yang dibangun menyajikan tema- tema yang menarik, dimulai dari eksposisi, kemudian bagian isi membahas kopi Kaliangkrik dan cara menikmatinya, serta bagian penutup. Gambar yang disajikan mampu mewakili penggambaran cita rasa kaya, sesuai dengan lokasi tanam.

Kekhasan Indonesia juga dimunculkan dalam dua dokumenter berjudul Palemahan (Bali) dan Apo Lagaan (Kalimantan). Dokumenter berbasis pada nilai budaya yang sangat langka dan jarang orang ketahui, mampu disuguhkan secara informatif pada dokumenter tersebut. Penggarapan yang detail, informasi yang jelas menggambarkan kuatnya riset dalam penciptaan karya ini.

Eksotisme Bali sudah tidak terbantahkan di dunia. Bagaimana manusia hidup berdampingan dengan alam, sesama manusia, binatang, roh, dan Sang Maha Pencipta tergambarkan dengan kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Upacara Tumpek Kandang merupakan salah satu upacara adat yang dilaksanakan secara berkala sesuai penanggalan Bali. Pesan tentang menghargai sesama makhluk hidup khususnya binatang disampaikan secara terstruktur dalam film ini. Sutradara dengan baik menempatkan narator untuk menghantarkan permasalahan yang akan diangkat dalam dokumenter ini, kemudian dilanjutkan oleh narasumber utama, yang menceritakan secara detail mengenai upacara tumplek kandang. Dokumenter dengan tema budaya ini tak hanya menawarkan narator dan statement sebagai voice of God saja, namun teknik visual dan editingnya juga digarap dengan sangat baik. Penonton disuguhkan keharmonisan subjek dan objek dalam setiap f rame nya. Program dokumenter ini merupakan salah satu arsip budaya yang cukup detail menyajikan informasi, baik audio maupun visual.

Eksotisme Hudog yang merupakan budaya masyarakat Kalimantan Timur tergambarkan dalam film dokumenter ekspositoris Apo Lagaan. Perjuangan suku dayak dalam melestarikan kesenian dalam ritus bercocok tanam tergambar jelas. Masyarakat adat yang telah terbiasa hidup berdampingan dengan alam, perlahan mulai harus berkompromi dengan aturan-aturan Negara yang mengatur sumber daya alam untuk pelestarian. Kritik mengenai aturan perlindungan pada satwa langka oleh masyarakat pemangku kebudayaannya, disajikan dengan baik. Kebijakan baik yang oleh masyarakat dipandang perlu dilonggarkan terkait dengan upacara adat yang mereka selenggarakan secara berkala dan membutuhkan beberapa benda dari alam dan hewan, misalnya bulu burung Enggang.

Film dokumenter ini bisa menjadi data arsip budaya yang sangat berharga, juga bisa menjadi media promosi untuk sektor pariwisata di Kalimantan. Meskipun didominasi oleh pertambangan pada saat ini, Kalimantan Timur khususnya, menyimpan banyak potensi budaya yang belum terpublikasikan dan diketahui khalayak luas. Suatu potensi budaya inilah yang menjadi pengganti kekayaan potensi alam di Kalimantan Timur, menjadi salah satu penopang perekonomian masyarakatnya.

Kedua film dokumenter yang sangat mencirikan budaya di atas menggugah gagasan rasional tentang budaya Indonesia yang memiliki nilai sangat tinggi dan beragam. Dibalik representasi realitas budaya kehidupan masyarakat Indonesia sesungguhnya sedang memberikan satu gagasan tentang kembali pada kehidupan yang berdamai dengan alam akan menciptakan dunia yang hakiki. Menjadi satu kritik terhadap modernitas yang mulai meninggalkan keseimbangan hidup dengan alam.

Pada pameran ini, ada tiga karya film fiksi yang patut diapresiasi yang sangat menarik sebagai sebuah tontonan, sarat kreativitas yang dibangun melalui kekuatan teknis maupun estetiknya. Karya berjudul Tugas Akhir, Mukhlis dan Rumah paku merupakan karya film fiksi yang mampu menjadi indikator pencapaian dalam proses belajar di Prodi Film dan Televisi. Kemampuan para pencipta menunjukkan betapa proses belajar yang hebat dan mencapai pada titik hasil yang lebih dari baik.

Film berjudul Tugas Akhir mengetengahkan tentang permasalahan sosial pada masa pandemi covid saat ini. Kesendirian dan kesepian, bahkan kehilangan semangat melanjutkan hidup ketika ditinggal oleh orang-orang terkasih menjadi fenomena sosial yang umum pada masa pandemi, terlebih ketika kasus infeksius memuncak. Badai pandemi yang menghantam dunia, membuat film ini menjadi relate pada semua penontonnya. Selain itu karya ini bisa menjadi cerminan jejak sebuah fase kehidupan manusia di bumi secara nyata.

Penata kamera menghadirkan kesunyian pada setiap shot-shotnya. Long shot digunakan pada beberapa adegan, dengan dialog yang banyak membawa perenungan. Metode Break the fourth wall dalam film ini juga menjadi tawaran sutradara untuk mengajak penonton bersama-sama ikut masuk ke dalam film, merasakan kepedihan dan kesunyian dalam film secara riil. Tata artistik yang terpusat dan mengarah pada tujuan akhir film ini juga mendukung penceritaan pada ending film, penonton diajak bersama-sama menyiapkan bagian akhir film ini.

Film berjudul Mukhlis menggambarkan tentang kehidupan yang sangat dekat dengan masyarakat indonesia. Berlatar kehidupan pondok yang berada di Jawa Tengah, film ini mampu membawa penonton melihat secara lebih dekat kehidupan para santri di dalam pondok, beserta intrik- intriknya. Pengambilan gambar pada film ini dilakukan dengan teliti, sehingga menghasilkan komposisi yang indah. Isu sosial yang diangkat berkutat pada masyarakat kelas bawah. Potret permasalahan sosial ada pada penggambaran ekonomi masyarakat, ditunjukkan melalui kesulitan pembayaran SPP salah satu tokoh utamanya. Film ini mengingatkan kita pada scene-scene film action dari Cina, dibumbui dengan komedi dan trik berkelahi yang kocak. Tema kritik sosial termasuk di dalamnya kesenjangan sosial, dikotomi profesi dan peran dalam masyarakat disajikan untuk memperkuat kesan komedi satire.

Terakhir adalah film cerita berjudul Rumah Paku, memiliki kekuatan pada penataan suara. Perspektif penonton diarahkan oleh efek suara yang dihadirkan pada keseluruhan film. Dengan setting 4 ruangan dalam 1 rumah penonton merasakan kesunyian, ketegangan, keterbatasan, ketakutan, tekad, serta kesedihan. Tidak ada shot yang menunjukkan bagaimana keadaan di luar rumah, namun melalui beberapa scene pengunci, didukung efek suara proyek pembangunan skala besar, film ini menjadi film pendek yang layak untuk diapresiasi dan dinikmati.

Isu pembangunan berskala besar dengan memindahkan lahan penduduk sangat sering di dengar akhir-akhir ini, pro dan kontra selalu mengikuti. Perlakuan diskriminasi pada masyarakat yang enggan menerima tawaran menjadi hal yang biasa terdengar dalam pembangunan sebuah megaproyek. Ancaman, teror, dan perlakuan tidak menyenangkan akan selalu digulirkan, hingga akhirnya menyerah. Film ini cukup jeli menangkap peristiwa sosial, yaitu kritik sosial pada kehidupan urban yang mayoritas didominasi oleh kepentingan kapitalis, dan meminggirkan masyarakat menengah kebawah.

Sedikit menelisik kedalam, bahwa ketiga film fiksi di atas mengangkat permasalahan sosial. Dimana dibalik film tersebut menggambarkan kritik kritis terhadap sebuah kondisi. Film yang tidak lagi sekedar tontonan, namun memiliki kekuatan implisit yang sesungguhnya digerakan, yaitu kritik sosial. Searah dengan pengaruh tradisi teori film modern yang sedikit banyak dipengaruhi tradisi culture studies. Kritik kritis terhadap kekuatan superior atas lemahnya inferior disajikan dalam ketiga film di atas dengan cara yang berbeda.

Pada saat ini program acara televisi yang lekat dengan edukasi untuk anak jarang ditemui. Sehingga gagasan program ini memberikan angin segar di tengah maraknya program televisi yang kurang tepat atau kurang memberikan edukasi kultural. Program televisi berjudul Kidspedia merupakan gagasan sederhana yang dikemas dengan cukup baik. Disertai dengan grafis yang menarik, karya program televisi ini bisa menjadi alternatif tontonan yang baik untuk anak. Pada segmen-segmennya, sutradara dengan baik mengatur informasi mengenai wisata edukasi, membuat kerajinan, kegiatan positif anak, dan cerita prestasi anak. Dua host yang berperan sebagai kakak beradik, secara naratif bercerita tentang kegiatan sehari-hari dimana keharmonisan hubungan kakak adik juga bisa menjadi contoh dalam relasi persaudaraan di rumah.

Membuat program acara yang sarat edukasi untuk anak merupakan tantangan tersendiri, banyak elemen yang harus dipenuhi. Meskipun detail shot pada sesi craft masih perlu ditingkatkan untuk memenuhi standar karakteristik televisi yang biasanya dinikmati dalam layar yang tidak terlalu besar, namun demikian sutradara pada program acara kidspedia ini menyajikan beberapa elemen edukatif dengan baik. Dengan berprinsip pada 3 poin utama dalam program televisi mendidik, menghibur dan informatif, program acara ini dapat dijadikan salah satu referensi program acara yang mempunyai kualitas yang cukup baik.

Dua karya terakhir yang dipamerkan adalah karya Skenario film fiksi. Skenario menjadi sebuah substansi karya yang memiliki nilai estetik yang tercerminkan dari pola-pola naratif yang dibangun baik melalui alur, struktur, cara mengisahkan, penokohan dan lainnya. Karya penulisan skenario pertama berjudul Benteng Van De Bosch. Cerita yang dibangun dengan latar masa penjajahan Belanda, digarap dengan detail. Secara teknis penulisan sudah sangat apik dan terstruktur yang menggambarkan kekuatan pada riset sang penulis. Cerita dibangun dari penjajahan Belanda yang meninggalkan sepenggal kisah pada perjalanan peradaban bangsa Indonesia. Menguak sejarah untuk menelusur kekayaan dan potensi negeri untuk kemudian dikisahkan dalam film. Rasa kecintaan dan penghargaan pada Nusantara akan terpupuk terus menerus pada generasi yang lebih muda. Skenario Film Fiksi “Benteng Van De Bosch” yang berpijak pada data sejarah ini dikemas dengan sangat teliti, dengan gaya penyampaian yang lugas, disertai data-data arkeologis mengenai benteng van de Bosch Ngawi.

Skenario karya Endang Mulyaningsih ini menggunakan gaya struktur naratif klasik yang dihadirkan dengan mengalir dan berkesinambungan. Data-data sejarah dieksplorasi dengan sangat baik pada elemen naratifnya: seperti karakter, latar, properti, dan konflik. Film-film bertemakan sejarah dengan data ilmu pengetahuan yang riil memang telah marak diproduksi di Hollywood, namun pada Perfilman Indonesia, masih perlu digali dan dieksplorasi lebih lanjut. Karya ini bisa menjadi contoh yang sangat baik pada penciptaan karya skenario yang berpijak dan setia pada bukti data sejarah.

Penulisan skenario yang kedua berjudul Sketsa Kasih, sketsa perupa yang menggambarkan kisah pahit getir dalam hidup perempuan bernama Kasih. Mewakili dan berbicara mengenai perempuan-perempuan yang terhimpit oleh peliknya hidup. Pilihan yang harus dihadapi, keadaan yang memaksa menentukan pilihan yang terkadang harus ditelan meskipun pahit getir. Perjuangan, penerimaan, dan pengharapan akan selalu menemani kehidupan manusia. Perempuan, makhluk yang terlihat lemah, namun memiliki kekuatan dan keteguhan meski dalam diam. Sepenggal kisah dalam skenario ini membawa kita pada kehidupan perempuan dengan rasa dan rahasia yang selalu bergelayut dalam benaknya, bahkan sampai pada akhir cerita, perenungan masih belum selesai.

Secara keseluruhan karya-karya yang terseleksi di atas dan dipamerkan dalam pameran JMMK ke 13 merupakan satu pencapaian. Pencapaian proses akademis yang memberikan pandangan positif atas kerja akademis dan kreatif terlebih pada masa pandemi. Karya-karya tersebut menandakan satu semangat dalam kebangkitan di era new normal saat ini.

KARYA DARI LUAR
INSTITUT KESENIAN JAKARTA (IKJ)

Judul:

  1. Pasang
  2. Time Story and Happines
  3. Lihat Dulu Kiri Kanan
  4. Mata Tertutup
  5. Brighter, Brighter Day

Film berjudul Pasang, mengangkat isu sosial pada masyarakat nelayan di indonesia, tergambarkan dengan lugas di dalam film ini. Sepenggal permasalahan yang kerap dihadapi oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah kebawah menjadi fokus dalam film Pasang. Kesabaran dalam penantian, keyakinan dan keteguhan yang terbayarkan. Pengorbanan ibu dan pengabdian anak seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi, sepanjang waktu demikian yang seharusnya terjadi. Permasalahan peliknya kehidupan ini semakin terasa dan kentara pada kaum marjinal yang tertindas oleh kapitalisme, tertindas oleh kepentingan dan uang.

Secara teknis film ini menyajikan setting kampung nelayan dan kehidupan perkotaan di sekitarnya dengan realis. Pesan humanis cukup lekat dalam film ini dalam dialog-dialognya. Film yang digarap dengan sederhana namun menarik, mampu menghadirkan satu kritik atas kemapanan yang hanya dimiliki orang tertentu dan mampu menjadi kekuatan atas kaum lemah. Seakan menjadi representasi sebuah kedudukan oposisi biner yang tegas diwakilkan dalam film ini. Bahwa kekuasaan menjadi kekuatan besar atas berbagai hal dan sebaliknya kaum lemah hanya bagian dari objek.

Jika mengutip pernyataan Muji Sutrisno yang mengatakan bahwa film merupakan jembatan yang paling sempurna untuk menyajikan realita kehidupan ke dalam sebuah layar, film ini adalah salah satu contohnya. Time Story and Happines menggambarkan kehidupan keluarga urban, permasalahan yang sering dihadapi sehari-hari digambarkan dengan baik. Sepenggal perjalanan yang membawa kembali keharmonisan dalam rumah tangga, bapak, ibu, anak mendapatkan kembali keselarasan, kasih sayang, dan kegembiraan.

Secara teknis film ini menyajikan pengambilan gambar, penataan artistik, penataan suara,dan editing yang rata-rata baik. Isu sosial menjadi pilihan yang diangkat namun disisi lain mampu menunjukkan bahwa kebahagiaan adalah hak setiap orang dan kebahagiaan dapat hadir dalam bentuk sederhana. Film berjudul Lihat Dulu Kiri Kanan, berkisah tentang anak lelaki yang mendekati baliq, mencoba mencari sensasi seksual dengan melihat film dewasa. Film komedi yang ditujukan untuk dewasa yang dikemas dengan ringan. Ketegangan dibangun dengan unsur komedi, dengan kejutan yang diletakkan di akhir cerita. Hubungan anak lelaki dan ayah tunggal yang sangat dihormati juga menjadi point dalam cerita ini. Kesalahan yang dengan susah payah harus ditutupi.

Jika ditarik lebih jauh, ada pesan yang tersirat, ada kritik sosial yang semestinya direnungkan bersama. Maraknya peredaran video dewasa semakin mudah dijangkau oleh anak di bawah umur, mengancam kondisi psikologis anak. Terlebih media yang sangat mudah diakses oleh siapapun dan dimanapun pada saat ini. Menjadi satu kritik atas kemajuan teknologi yang memberikan kemudahan akses kepada setiap orang bahkan anak-anak.Kemudahan akses yang dapat berdampak negatif. Secara teknis film komedi ini dibangun dengan pengambilan gambar yang baik, shot-shot kejutan, editing yang baik dan tata suara yang juga baik.

Pesan kebaikan, kebijaksanaan, dan kesabaran menjadi fokus dalam film berjudul Mata Tertutup. Kritik sosial yang kerap disisipkan pada sinema modern lekat pada film ini. Bagaimana kondisi sosial pada saat ini, tentang maraknya perilaku menikmati uang yang bukan haknya, kejujuran yang semakin tergilas oleh kepentingan hidup yang hedonis. Film ini mengajak kita untuk merenung, kembali menemukan kebaikan, kejujuran, dan kesabaran dalam diri kita, ditengah cita rasa yang semakin modern dan tawaran kehidupan yang gemerlap.

Karya berjudul Brighter, Brighter Dayini lebih dekat sebagai sebuah film eksperimental atau cara penyampaian melalui simbol-simbol yang dimunculkan. Dengan segala keterbatasan dalam masa pandemi, film ini bisa menjadi referensi dan jejak karya film dalam masa ini. Diawali dengan adegan seorang pemuda yang sedang berdialog dengan dirinya sendiri, berusaha memahami keadaan dan kondisi yang dialami. Masa dimana kita sering mempertanyakan jati diri, mengalahkan ego dan diri sendiri untuk bisa menjadi lebih baik. Musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri, pesan jelas yang tersirat dalam keseluruhan film ini.

Warna yang didominasi oleh warna kuning, mengesankan panas dan kegelisahan. Mengalahkan ego dan diri sendiri bukan hal yang mudah, ending dalam film ini berkisah tentang pencapaian kita kalah pada diri sendiri atau mampu mengalahkan ego untuk melangkah menuju pribadi yang lebih baik. Pergulatan yang selalu ada dalam diri manusia, selalu diperjuangkan sepanjang hidup.

Home – JMMK#13
Sambutan Rektor ISI Yogyakarta
Sambutan Dekan FSMR
Kuratorial Program Studi Fotografi
Karya Program Studi Fotografi
Kuratorial Program Film dan Televisi
Karya Program Film dan Televisi
Kuratorial Program Animasi
Karya Program Animasi