Seni dalam Waktu Wabah

Catatan Kuratorial Oleh Kurniawan Adi Saputro, S.IP., M.A., Ph.D

Sudah jamak orang memandang foto sebagai rekaman ruang (“Ini kawasan Pantai Indah Kapuk”), rekaman benda (“Ini minyak telon kesukaanku”), atau rekaman kehadiran (“Beginilah jalan setapak itu waktu aku di sana”). Tidak hanya itu semua, sebenarnya foto juga merekam waktu. Masa wabah ini membuat kita sangat menyadari waktu. Kapan ini akan berakhir? Kapan terakhir kali makan soto di tempat kesukaan? Dan waktu-waktu lain yang telah hilang.

Dalam berbagai pembatasan untuk mengerem laju penularan virus, para pembuat karya merasakan ruang yang mengimpit. Berburu foto keluar terasa mengkhawatirkan, mencari alat dan bahan memaksa bertemu orang yang berisiko, dan menyisakan kamar tidur, meja komputer, dan rumah sebagai studio kerja. Sungguh aneh, akibat dari berbagai pembatasan, waktu terasa memanjang. Setelah bangun atau setelah persiapan pagi hari, tidak ada lagi kegiatan berikutnya selain menunggu di rumah. Jeda antarkegiatan menjadi waktu-waktu kosong. Rangkaian waktu-waktu yang tidak terisi ini menjadi latar penting untuk melihat karya-karya yang tercipta di masa pandemi terutama dari sudut pandang pembuatannya dan penerimaannya, bukan hasilnya.

Waktu bagi seniman

Mahasiswa seni membuat karya sebagai bagian dari belajar dan kuliah. Karya-karya yang dipamerkan ini adalah hasil pembelajaran dan kegiatan-kegiatan di dalam kuliah itu. Karena waktu kuliah sudah tertata dari Senin hingga Jumat mengisi waktu mahasiswa seni, Sabtu-Minggu pun menjadi sisa waktu untuk mengerjakan tugas. Karena penuh oleh kuliah dan tugas, biasanya tidak banyak waktu tersisa untuk belajar hal-hal di luar kuliah. Wabah membuka dan mengosongkan waktu-waktu di antara kuliah untuk belajar hal-hal baru yang sebelumnya tidak mendapat waktu. Sebagai misal, merajut benang membuka kemungkinan baru untuk menggabungkan gambar foto dengan garis-garis warna dan tekstur benang.

Waktu yang memanjang juga memungkinkan mahasiswa seni memikirkan hal-hal yang selama ini tidak mendapat perhatian. Kegelisahan, yang bisa terabaikan karena kesibukan, menjadi tak terelakkan ketika tidak ada apa-apa untuk menyibukkan sendiri. Kegelisahan-kegelisahan kecil (karyaku nanti mendapat nilai apa) menepi dan terganti kegelisahan-kegelisahan eksistensial (apakah aku akan tertular dan mati). Seiring dengan ketidakpastian masa depan, timbul pertanyaan-pertanyaan tentang arti keberadaan. Karya-karya ini menunjukkan kesadaran tentang arti keberadaan dan keberartian orang-orang (orang tua, saksi, perempuan), pengalaman-pengalaman, mimpi, dan benda-benda. Dalam waktu yang tak terbatas, ternyata yang bermakna adalah apa yang ada dan yang pernah ada. Apa yang belum ada dan apa yang mungkin ada seperti kabut saja yang hilang seiring terbitnya matahari kesadaran.

Waktu bagi penonton

Penonton karya seni di masa sebelum wabah melihat karya dalam keserentakan dengan orang lain. Matra sosial dari waktu ini memungkinkan kegairahan dan komunikasi pengalaman. Sudah galib pameran langsung di ruang yang terbatas dan dihadiri banyak orang menciptakan kegembiraan, keramaian, hiruk-pikuk, dan letupan-letupan gairah. Sebaliknya, pameran daring muncul di layar yang disaksikan sendiri, hambar, dengan perhatian yang gampang berganti. Tentu banyak teknologi yang berupaya menyelesaikan kesulitan tadi, tetapi kebersamaan dengan orang lain lahir dari pengalaman yang menyeluruh, meliputi semua indera kita, dan kesadaran dua belah pihak yang terus-menerus. Dua indera saja (netra dan rungu) jelas kurang, seperti nonton bola di tivi dibanding nonton pertandingan langsung. Ditambah lagi, nonton bola sendiri jelas kalah seru dibanding nobar dengan teman-teman. Yang sangat sulit terganti adalah kesadaran bahwa ‘saya tahu bahwa kamu tahu’ yang terus-menerus.

Tanpa jangkar kebersamaan, pengalaman menonton karya seni seperti terapung, terombang-ambing, mengikuti riak perhatian, kesibukan, dan arus kegiatan-kegiatan di luar seni. Kemampuan seni memesona penontonnya, mengabadikan denyar makna, mensyaratkan pengucilan pengalaman meresapi seni dari pengalaman-pengalaman lain. Ruang tertutup, suasana gelap, bingkai kosong, lampu sorot, dan, untuk pameran, kegiatan bersama penonton lain adalah semesta yang memungkinkan  penonton meresapi seni, memasuki alam teka-teki seni sebagai pengalaman sosial. Oleh karena itu, pameran langsung yang dihadiri bersama seperti ini menjadi penting karena ia merawat dan memulihkan pengalaman seni sebagai pengalaman sosial, bukan sekadar konsumsi sendiri-sendiri dengan teknologi digital.

Yogyakarta, Juni 2021


Karya Pameran


“Prambanan Temple”

Novan Jemmi Andrea

“Libur Kecil Kaum Kusam (Iwan Fals)”

Pitri Ermawati

 

Keluar dari Zona Nyaman_
Salsabila Fairus

Glass
Annisa Fitri Muthmainah

Holy Halo

Cantika Juliet K

Linda Oktaviani

Life of Geisha_
Enggar Bayu Pamungkas

Complete

Ardelia Aptasari

Splash

Fakhrudin Faiz Mustofa Bisri

Post IG Minyak telon Doodle
Muhammad Fatih Robbani

Roast Fotografi Komersial IG Campaign (Kelompok Komersial Roast Coffee)
Andreas, Iqbal, Ryan, Arfan

Umpama

Syahlan Erma Riki

Tidur

Murdiana

Glass #2
Annisa Fitri Muthmainah

PaperOOTD (Outfit Of The Doll)_Cyanotype on Watercolor

Dwiky Setya Nurhuda

(The Role of Parents) Cyanotype on Watercolor Paper 2020

Vanesha Febby Astuti

Holy Halo

Cantika Juliet K

Tamasya di Ujung Malam 2

Muhammad Alfariz

Pembangunan

Muhammad Fadhil Zaki

Rakhman Amien Mahendra

Barrier

Rakhman Amien Mahendra

Demi Materi

Siti Sholekhah

Transformasi (Photgram on Photo Paper)

Anjania Nanda Pithaloka

Bangau_(Photgram on Photo Paper)

Dany Kurniawan

Pewayangan_(Photgram on Photo Paper)

Fransiskus Xaverius Ario Setyoaji

Lacuna (Photgram on Photo Paper)

Mezaluna Khairunnisa

Kasetyan
Iqbal Bondan Nugroho

A Whole New World

Ryan M.A Lantang

Tidak Ada Hari yang Tidak Retak

Abimanyu Dirgantara

Nyambung Lampah
Purwoko