Seni sebagai Identitas Diri
Oleh Fajar Apriyanto
Perkembangan kesenian terutama dalam dunia seni media rekam, khususnya media fotografi, menjadi bagian tak terpisahkan dari ekspresi diri. Media fotografi pada awal kemunculannya hanya sebatas media dokumentasi semata. Namun, sekarang sudah beralih fungsi sebagai media untuk menuangkan ide dan gagasan. Dunia fotografi tidak dapat dilepaskan dengan teknologi yang terus mendampinginya. Sejak awal kemunculannya fotografi sarat dengan teknologi yang berada di dalamnya. Informasi dan teknologi terus berkembang seiring dengan jiwa zaman yang terus bergulir cepat. Begitu cepat perubahan informasi dan pergantian teknologi sehingga tidak memungkinkan mempelajari dan mengikuti semuanya.
Perkembangan teknologi fotografi memaksa seniman untuk dapat beradaptasi dengan mengikuti dan menyeleksi apa yang dapat diolah serta dikendalikannya. Kemudahan teknologi fotografi dan sifat mimesisnya menjadikan sebuah kekuatan karya seni berupa gambar nyata. Meminjam istilah yang digunakan Barthes yang mengatakan sebuah foto adalah trust of the image atau gambar yang sebenarnya dan dapat dipercaya. Dengan demikian, seni merekam visual merupakan sebuah upaya membangun fondasi untuk menduplikasi realitas (merekam kenyataan) yang dibekukan. .
Seorang seniman dalam melakukan aktivitas seninya dipengaruhi oleh latar belakang dan lingkungan sekitarnya. Latar belakang tersebut menjadikan dan membentuk dirinya pada masa yang akan datang. Setiap manusia selalu memiliki keinginan/dorongan (drive) untuk terus melakukan sebuah tindakan. Seniman akan melakukan tindakan penciptaan melalui karya seni. Dorongan (drive) tersebut tidak disadari telah tersimpan dan menjadi sebuah sublimasi yang terus terepresi.(dikendalikan dan ditekan). Oleh karena itu, sebuah karya yang ditampilkan seorang seniman merupakan ekspresi tentang dirinya, kegelisahan yang dirasakan, dan ingin dilepaskan. Salah satu representasi karya seni tersebut merupakan kenangan masa lalu berupa ide dan gagasan yang dimaknai pada masa kini berbentuk metafora simbolik dengan ikon berkode. Karya seni yang menggunakan ikon berkode, salah satunya dapat dijumpai pada karya berjudul “Ikonik” karya Pamungkas W.S. Karya ini menggambarkan subject matter potret Abah Alex dengan seekor babi. Pesan yang ditangkap oleh Pamungkas mengenai sosok Abah Alex adalah sebuah ikon dengan binatang babi.
“Ikonik” Karya Pamungkas W.S.
Bagi Pamungkas, karakter yang melekat pada diri Abah Alex merupakan sesuatu yang personal baginya dan memberikan kesan begitu mendalam. Begitu individual seperti voice of singularity, yaitu suara yang emosional dan personal yang dimiliki oleh individu (Barthes, 1982). Pamungkas dalam melakukan olah proses penciptaannya mempunyai kesan yang mendalam tentang Abah Alex, baik sebagai teman sejawat, guru, maupun sebagai sahabat. Karya berjudul “Ikonik” ini menyampaikan bahwa karakteristik seseorang dapat terbentuk melalui aktivitas dan kehidupan yang dijalani selama ini. Apa yang melekat pada dirinya, apa yang dilakukannya, dan pemaknaan apa di balik metafora simbolis yang tidak tampak berupa cerita dan narasi.
Seperti yang dapat dilihat pada karya-karya Abah Alex sebelumnya bagaimana dia selalu menggunakan teknik mix media antara lukis, fotografi, dan videografi. Media yang dekat dengan lingkungannya berupa aktivitas akademik dan keseniannya. Binatang babi merupakan sebuah simbol representasi dari kegemukan, makan berlebihan, dan rakus. Abah Alex dalam setiap karyanya selalu menghadirkan kritik-kritik kritis sesuai dengan situasi dan fenomena yang sedang dihadapi bangsa ini. Dalam karyanya banyak dijumpai elemen visual berupa ikon berkode, seperti dasi, jas, kursi, tulisan, dan manusia gemuk. Ikon berkode tersebut merupakan representasi dari sebuah kekuasaan, kekuatan, dan kewenangan. Bagaimana korupsi yang dilakukan oleh pejabat Negara makin masif dan makin besar nilainya. Kegelisahan Abah Alex menjadi refleksi atas apa yang dirasakannya selama ini. Sesungguhnya dalam berkarya seni seniman melakukan sebuah dorongan (drive) yang tidak disadari. Dorongan itu merupakan suatu keinginan (desire) karena manusia selalu dilingkupi oleh objek keinginan (object of desire). Dalam bukunya, Dor (1998) menyampaikan bahwa the subject of desire yang berada dalam diri merupakan sebuah identitas ketidaksadaran (unconscious) subjek, baik yang tersembunyi di balik perkataan, maupun tindakan subjek. Perilaku seorang subjek, baik perkataan maupun tindakan mencerminkan dirinya sendiri. Akan tetapi, di balik semua perilaku itu terdapat keinginan yang begitu dalam. Keinginan tersebut tersembunyi di dalam alam ketidaksadaran, tetapi tidak diketahui dan dimengerti oleh subjek. Masalah ini juga berlaku dan terjadi pada diri seorang seniman melalui karya-karya yang diciptakanya. Seniman menghadirkan dan membahasakan keinginan melalui ikon berkode yang tersaji dalam citra visual karyanya. Keinginan dari dalam diri kemudian ditranfer menjadi dan berupa karya seni.
Hal ini mengacu pada konsep subjek manusia yang dibentuk dan didefinisikan oleh keinginannya (desire). Keinginan merupakan aspek fundamental dalam struktur subjek manusia karena berhubungan begitu kompleks dengan bahasa, simbol, dan kebutuhan biologis. Artinya dalam memenuhi kebutuhan biologis, subjek menginginkan kebutuhan dasar, seperti makan dan minum selalu terpenuhi. Akan tetapi, dalam perkembangannya proses interaksi dan sosialisasi di lingkungan masyarakat kebutuhannya tidak hanya fisik semata. Dibutuhkan keinginan simbolis yang ditentukan oleh bahasa dan budaya berupa recognition.
Subjek keinginan (The subject of desire) yang tersembunyi begitu dalam akan memengaruhi subjek, baik dalam berperilaku dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar, meskipun tindakan tersebut tidak disadarinya. Keinginan tersebut berada di alam bawah sadar dan menggerakkan perilaku dalam kehidupan subjek, termasuk berekspresi melalui karya seni. Di alam ketidaksadaran sering kita tidak menyadari aktivitas dan tindakan. Tindakan yang dilakukan hadir serupa simbol dan bahasa yang memengaruhi pikiran dan alam kita. Aspek pikiran dan perasaan yang tersembunyi dan tidak disadari itulah yang muncul melalui sebuah mimpi, tindakan, dan perkataan. Oleh karena itu, semua yang ada di alam bawah sadar sebenarnya terhubung satu dengan yang lain secara rinci.
The unconscious is structured like language. The unconscious then contains a mass of signifier chains all connected to each other (Herbert, 2010).
Setiap manusia memiliki pengalaman masa lalu yang begitu terkesan dan mendalam. Pengalaman itulah yang menjadi bekal/modal berkarya seni sebagai entitas dari sublimasi. Ide dan gagasan berawal dari dalam diri sendiri sebagai upaya penciri dan karakteristik karya seni. Dengan demikian, penciri dan karakteristik itulah yang menjadi pembeda antara seniman yang satu dengan yang lain. Namun, banyak juga dijumpai ide dan gagasan seniman datang dari luar dirinya. Ide dan gagasan itu menjadi kering dan karya yang dihadirkan hanya sebatas berlalu semata. Sesungguhnya karya seni merupakan seni berbagi pengalaman seorang seniman atas apa yang dirasakan sehingga dapat dimaknai dalam kehidupan ini. Berbekal pengalaman pada masa lalu dan pemaknaan pada masa kini dengan melampauinya (beyond) sehingga menjadi sebuah wacana.
Pemaknaan merupakan pemberian arti atau interpretasi terhadap sesuatu yang menarik dan menjadi perhatian. Hal ini dapat dijumpai dan digunakan dalam konteks memberikan makna atas pengalaman ide dan gagasan berupa simbolis. Dalam perspektif ini banyak digunakan dalam konteks seni dan budaya. Seni menjadi bahasa universal untuk potret diri tentang berbagi pengalaman terhadap apa yang dirasakan dan yang terjadi pada diri seniman. Karya yang dihadirkan menjadi sebuah identitas diri atas ketidaksadaran apa yang mendorong melakukan proses penciptaan. Lacan (dalam Herbert, 2010) mengatakan bahwa ketidaksadaran itu terstruktur seperti bahasa.
Selamat purnatugas Abah Alex semoga karya-karyamu menginspirasi dan memotivasi sivitas akademik ISI Yogyakarta, khususnya keluarga besar FSMR.
Sleman, 23 Oktober 2023
Kaliurang 10,9
Fajar Apriyanto
Daftar Pustaka
Barthes, R., (1982), Camera lucida reflection on photography, London, Hill and Wang.
Dor, J. (1988), Introduction to the reading of Lacan: The unconscius structured like a language (J. Feher-Gurewich, & S. Fairfield, Ed.), New York, Other Press.
Herbert, A., (2010), The Pedagogy of creativity, New York, Routledge.