Catatan Kuratorial Pameran dan Penayangan Karya Televisi

dalam Rangka Dies Natalis ISI Yk ke 38

Oleh: Agnes Widyasmoro, S.Sn., MA

Keterbatasan ruang dalam masa pandemi telah direspon dengan baik dalam segala cara. Semua bidang kehidupan telah bergerak dengan sangat cepat menyesuaikan diri, beradaptasi dengan keadaan. Kreativitas yang tidak terbatas dan tidak terfikirkan sebelumnya banyak bermunculan, salah satunya di ruang publik berkesenian. Bagaimanapun respon tersebut telah mampu menghadirkan karya-karya Film Fiksi, Film Eksperimental, Film Dokumenter, dan Video Klip yang tidak akan terlupakan dalam penggalan masa ini oleh individu di dalamnya. 

Kehilangan, merupakan salah satu peristiwa traumatik yang banyak terjadi pada masa pandemi. Nyatanya peristiwa kehilangan orang yang berarti dalam kehidupan mampu menjadi salah satu pemicu ide daya kreasi dalam film fiksi yang diciptakan bahkan oleh mahasiswa pada semester awal perkuliahan. Perpisahan dan kehilangan anggota keluarga juga orang yang disayangi dengan baik dikisahkan dalam film Balon, Galih, Di Ujung Nanti Kita Bertemu, Aku Lautan Kamu Daratan, Pertemuan, dan Lembar Terakhir. Lembar Terakhir mengisahkan perpisahan yang sangat membumi, sangat dekat dengan generasi saat ini, memotret rasa kehilangan tak berujung seorang ibu yang semestinya bersama-sama berbahagia atas pencapaian anak perempuannya dalam pertarungan menuju jenjang perguruan tinggi. Selain tema kehilangan, tema pertemuan juga menjadi tema yang menarik dalam karya-karya mahasiswa semester 2 ini, diantaranya Film Buntel, Bertemu di Belanga, Lunar Light, dan Di Sela Garis Yang Tak Tertulis. Pertemuan yang digarap dengan berbagai sudut pandang dan kreativitas, Disela Garis yang tak Tertulis, selain membawa kita pada pertemuan dan bahkan perpisahan sekaligus, juga menawarkan “kemurnian” ruang dan waktu imajinatif, disertai pula dengan sajian teknis yang memadai. Selain film-film bergenre drama, ada pula film yang dengan baik mencoba berekplorasi dengan membuat film thriller dan horor, The Warm Blod of a Dying Man dan Tape Man Sellotape House mengangkat ide yang tidak biasa, dan Dongeng Sebelum Tidur mengisahkan kehidupan anak kos dan isu horor kampus yang membumi. Sungguh merupakan wujud dari kreativitas yang patut diberi apresiasi dalam gelaran karya pada Dies ini. 

Pada tingkat yang lebih tinggi, 7 film Fiksi yang dihadirkan dari kelas Produksi Film Fiksi sungguh layak untuk mendapatkan apresiasi yang sangat baik. 3 Film fiksi dengan genre drama keluarga dengan pesan edukatif. Film The Old Man dan Tekad Teki dapat menjadi tontonan reflektif dan menghibur, disertai dengan isu kekinian di kalangan pelajar dan keluarga. Genre Film Musikal juga turut mewarnai karya di Dies ini, adalah Film Musikal Senada Cita, film yang mengingatkan kita pada keteguhan dan tekad meraih cita sesuai dengan minat dan bakat. Terlepas dari kekurangan yang masih ada, film ini patut diapresiasi. Film Prolog dan Memoirs About Sea, You menawarkan perenungan tentang relasi wanita dan pria dalam sudut pandang yang berbeda. Mengisahkan kehidupan percintaan secara “puitis” dan “realis”. Teknis yang baik membuat film ini tidak menjemukan meski hanya diperankan oleh dua tokoh saja. Lintasan Terakhir adalah film action yang menarik, peliknya dunia ojek diangkat dan disikapi sebagai profesi yang penuh dengan tantangan, kebanggaan, dan pertaruhan harga diri layaknya film-film gangster. Sungguh film-film yang menarik dan layak menjadi tontonan  berkualitas. 

Kebangkitan kreatif dalam berkarya di masa pandemi juga terlihat dari beberapa film eksperimental. Respon pada kondisi saat ini, isu yang marak dan hangat pada saat ini, dicerap dan divisualisasikan dengan kreasi-kreasi yang mengajak kita merenung dan memaknai bersama. Bagaimana setiap individu menghadapi permasalahan, memotret kehidupannya, kemudian menceritakan kehidupannya secara kreatif menjadi tawaran film-film eksperimental pada dies ini. Ada 7 karya dengan bentuk ekspresi yang berbeda-beda. Karya Muh. Fatahilah Syam dengan judul When I Grow Up dengan beberapa simbol berusaha menyampaikan pesan, bahwa menjadi dewasa adalah sesuatu yang pasti, bagaimana manusia harus menghadapi dan mengetahui banyak hal dan harus menerima dan berlaku sesuai dengan ruang sosialnya, banyak yang harus dikompromikan. Berbeda lagi dengan Muh. Naufal Ekananda yang mencoba memotret dengan jeli kondisi kehidupan hiruk pikuk di beberapa kawasan industrial, kapitalisme kehidupan modern, mengakibatkan sampah bertumpuk merusak lingkungan, alam, dan ekosistem, yang berakibat pada manusia dan makluk hidup lainnya. Air bersih semakin sulit ditemukan, ketersediaannya telah tercemari. Pesan yang mampu ditawarkan dengan baik, dengan visualisasi yang membuat kita merenung.

Meski terdapat kendala dan keterbatasan dalam berbagai situasi dan kondisi selama pandemi, namun 12 film dokumenter yang akan ditayangkan dalam rangkaian Dies ini merupakan karya yang sangat baik. Menawarkan dua isu hangat yang berbeda, karya mahasiswa Produksi Dokumenter ini dikemas dengan gaya ekspositoris yang menarik. Menolak Diam, merupakan dokumenter yang berkisah tentang isu hak asasi manusia. Menguak permasalahan yang dihadapi oleh mantan tahanan politik pada masa G 30 S PKI. Isu HAM yang sampai ini masih diperbincangkan di tengah masyarakat, diambil dari sudut pandang pelaku, sosok yang teguh dan tangguh: pak Badri. Film kedua Last Fortress berbicara mengenai isu lingkungan hidup, konservasi hutan lindung Siregol di Desa Kramat Purbalingga. Isu ini dibahas dengan lugas, terkait dengan kelestarian alam, bencana karena eksploitasi alam dan kerusakan hutan. Film berikutnya adalah 10 karya film dokumenter dari kelas Dokumenter. Objek-objek yang diambil dalam 10 film dokumenter ini sangat beragam, kehidupan berbagai profesi yang unik di masyarakat ditangkap dan divisualisasikan dengan baik. Behind the Queen, Gongso, Kopi, People road show, Sedot Cuan, dan wibu, menyoroti profesi-profesi unik, dari kehidupan kabaret show yang glamor, empu gamelan, barista difabel, “polisi” cepek, pencinta anime dan budaya jepang, hingga kehidupan profesi sedot WC yang dikisahkan dengan runtut secara naratif dan ekspositoris. Binatang Jalang, Di penghujung Muara, Equal, dan Filantropi, bercerita berbagai kelompok masyarakat dengan kepedulian, permasalahan bahkan kritik. Khususnya Behind the Queen, Equality, dan Kopi, merupakan 3 dokumenter yang mampu membuka kepekaan rasa kita pada penghargaan dan perenungan lebih lanjut tentang kehidupan.  

Karya selanjutnya adalah video klip musik dari kelas Tata Artistik. Karya-karya pendek dengan durasi 3-4 menit, menghadirkan ide-ide yang beragam dalam Penataan Artistik. Buai Bayu Teluk, Kini Tinggal Lembaran, Judge Me, dan Jirapah Muto merupakan karya-karya penataan artistik yang baik, secara kreatif mampu menghadirkan kesesuaian dan kesatuan yang utuh dengan lagunya. 

Secara keseluruhan bisa disimpulkan bahwa karya-karya yang tersaji dalam Dies kali ini merupakan karya-karya hasil pembelajaran yang baik. Kemampuan dalam merespon keadaan, isu sosial, dan merangkainya dalam karya, patut diapresiasi. Tentunya kekurangan masih ditemukan, namun tantangan keterbatasan ruang dan waktu, baik dalam proses pembelajaran maupun proses produksi, telah mampu disikapi secara efektif sehingga terlahir karya-karya kreatif inovatif.