Oleh: Pandan P. Purwacandra, M.Kom.
Film dan Televisi, merupakan dua kata yang memiliki makna sebagai jenis tayangan, maupun media penyampaian. Dewasa ini, perkembangan media baru sudah merubah paradigma film dan televisi dalam bentuk Layanan OTT (Over The Top). OTT merujuk pada layanan yang menyampaikan konten media, seperti film dan acara TV, langsung kepada pengguna melalui internet, tanpa menggunakan media tradisional seperti TV kabel atau satelit. Oleh karena itu, fokus penciptaan karya dewasa ini merujuk pada bentuk jenis tayangan yang nantinya dapat dinikmati dengan berbagai bentuk media baru.
Program Studi Produksi Film dan Televisi sebagai Program Studi baru di Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta Fokus pada perkembangan Jaman pada bidang film Televisi yang terlihat dari mata kuliah yang disediakan, dan isi pembelajaran termasuk penugasan yang diberikan di kelas. Selain itu, mahasiswa dipaksa untuk langsung terjun pada proyek nyata dan klien yang bervariatif. Project yang dikerjakan dapat ditemukan pada platform instagram dengan hashtag #pftisijogja, #pftfsmr, #pindasiniaja. Selain proyek Nyata, beberapa karya juga ikut dalam pameran seperti yang bisa disaksikan pada Pameran DIES kali ini.
“Ayo Kenal Budaya: Menyulam Tradisi, Menyuarakan Warisan”
Dalam dunia yang bergerak serba cepat, warisan budaya sering kali terpinggirkan oleh modernitas yang mendesak. Namun, melalui karya audio visual berjudul “Ayo Kenal Budaya“, kita diajak untuk berhenti sejenak, menoleh ke belakang, dan menyelami kembali akar identitas kita—salah satunya melalui batik tulis Giriloyo.
Giriloyo, sebuah desa di kaki bukit Imogiri, bukan sekadar tempat. Ia adalah ruang hidup di mana nilai, teknik, dan filosofi batik diwariskan secara turun-temurun. Batik di Giriloyo tidak lahir dari pabrik, melainkan dari tangan-tangan perempuan yang sabar, dari malam panas yang dituangkan titik demi titik ke atas kain putih, dari cerita-cerita keluarga yang menjahitkan motif menjadi makna.
Karya ini mengajak penonton untuk mengenal budaya bukan dengan cara menghafal, tetapi dengan mengalami. Melalui rekaman gambar bergerak dan suara yang dikurasi secara saksama, penonton diajak masuk ke dalam ruang batin para pembatik: mendengar derik canting, menyimak dialog santai di beranda rumah, menyaksikan gerak tangan yang perlahan, namun pasti membentuk motif-motif penuh filosofi.
Visual yang dihadirkan tidak hanya merekam proses, tetapi juga menangkap suasana: suasana rumah tradisional, tawa ringan di antara pekerjaan, serta ketekunan yang nyaris meditatif. Sementara itu, lapisan suara dalam karya ini bukan sekadar pelengkap, melainkan jembatan emosional yang menghubungkan penonton dengan ruang hidup batik itu sendiri. Anak-anak yang bermain di antara jemuran kain batik menjadi simbol regenerasi—bahwa budaya hidup bukan di museum, tapi dalam keseharian.
“Ayo Kenal Budaya” bukan ajakan kosong. Ia adalah seruan lembut untuk lebih dekat, lebih peduli, dan lebih sadar akan warisan budaya yang tidak hanya indah, tetapi juga sarat makna dan nilai. Ia mengingatkan kita bahwa mengenal budaya bukan hanya soal melihat hasil akhirnya, melainkan memahami proses, menghargai pelakunya, dan menjaga keberlanjutannya.
Penutup
Melalui pendekatan sinematik yang intim dan penuh penghargaan, karya ini menjadi upaya kecil yang bermakna dalam mempertemukan generasi kini dengan tradisi yang nyaris tak terdengar. Ia bukan hanya dokumentasi, tetapi juga bentuk cinta. Dan dalam cinta itu, kita diajak untuk kenal budaya—mulai dari batik, mulai dari Giriloyo.
Salam Kreatif dan Humanis
Yogyakarta, 20 Mei 2025
Pandan P. Purwacandra, M.Kom.