Ode Tentang Kebangkitan Dalam Seni Media Rekam
Novan Jemmi Andrea, M.Sn
Setiap manusia memiliki cara-cara tertentu untuk mengenali dan menghadapi episode hidup yang dijalani. Tentang persoalan – persoalan yang pernah dihadapai dimasa lampau, peristiwa-peristiwa di mana kita terlibat di dalamnya saat ini, hingga azam dalam benak yang terpelihara dan berkelindan dengan raga dan rasa. Ada kalanya, masa yang menyenangkan datang menghampiri, namun sering pula kemurungan-kemurungan hadir menyertai. Dua kubu ini seperti ying dan yang, pasang dan surut, hitam dan putih, oposisi biner yang merepresentasikan sebagian siklus kehidupan manusia. Berlawanan, namun saling melengkapi. Mengalir dalam sistem yang dinamis. Seperti pencipta karya dan pemirsa, keduanya bukanlah antipode dan justru terhubung melalui jembatan pemaknaan. Ada sesuatu yang tersirat dalam karya bagi tiap ketulusan penikmatannya.
Art for Revival and Recovery of Life, menjadi tema penyelanggaraan Jalan Menuju Media Kreatif (JMMK) #14. Gelaran rutin dari Fakultas Seni Media Rekam (FSMR), Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang sudah memasuki penyelenggaraan yang ke-14 kali ini merupakan sarana bagi perbincangan karya-karya seni media rekam dan kontribusinya dalam masyarakat. Saat ini, topik utama perbincangannya adalah bagaimana seni media rekam mengambil peran dalam persoalan pemulihan dan kebangkitan. Karya foto dari para dosen Program Studi (Prodi) Fotografi, kolega serta mahasiswa Prodi Fotografi dapat menjadi abstraksi untuk menghantarkan kita menafsirkan pemulihan dan kebangkitan dari visual yang teramati, mulai dari aspek formalnya, hingga tautan makna yang tersirat di dalamnya. Misalnya kalau kita merujuk pada dimensi kemandirian untuk bangkit yang bersumber dari diri sendiri, bahwa untuk tetap berdiri tegak dan menjadi kuat, sejatinya hanya perlu percaya pada diri sendiri. Bagai tegarnya pohon yang tetap berdiri meski sendiri, “Alone” nan “Berkabut”. Tidak hanya di Indonesia, kita juga dapat mengamati perspektif tentang kebangkitan dari negara lain melalui karya berjudul “Color of Soul” dari kolega Universiti Teknologi MARA Malaysia serta foto berjudul “Tawan” dan “Youth” dari kolega King Mongkut’s Institute of Technology Ladkrabang, Thailand.
Selama masa krisis beberapa tahun belakangan, semua orang berupaya bertahan menjaga kehidupan dengan merawat optimisme. Saat kehidupan dirasakan hampir kembali normal, hal-hal yang sebelumnya terhambat dan terpisah akhirnya dapat terkoneksi kembali. Kita bangkit sebagai manusia yang kuat meskipun pernah jadi bagian dari peradaban yang sempat menderita. “Angkatan Pandemi” adalah satir atas kondisi yang dirasakan belakangan ini. Kala pandemi mengubah kondisi kehidupan, namun sejumlah hal harus tetap dilakoni. Lebih jauh, barangkali kita makin dapat merasakan semangat dan optimisme tersebut di tempat dengan hingar bingar musik dan gelegar teriakan lirik bersahutan dari sana sini, seperti “Setelah Hiatus karena pandemi”, ada “Fstvlst”.
Punca pulih dan bangkit juga bisa dirasakan saat hawa keceriaan mulai hadir. Jika sebelumnya diketahui sedang berduka, mungkin itu adalah awal bahagia. Dengan prasangka baik, perbincangan tentang kehidupan setelah kematian pun menjadi hal yang baik. Dimensi pemulihan dan kebangkitan pun menjadi luas. Tentang erat kekerabatan handai tolan saat menghantarkan yang hilang hayatnya di dunia ini menuju alam yang abadi. Peristiwa “Tarik Batu Raksasa di Toraja” membangkitkan kepedulian bergotong royong sebagai tanda dimulainya Rambu Solo’, ritual akbar tentang kematian yang mampu membangkitkan rasa kekeluargaan saat seluruh kerabat berkumpul menemani dan menguatkan kulawangsa untuk tegar dan segera pulih dari duka. Ada pesan-pesan mengenai kebangkitan yang menyertai saat yang pernah hadir sudah mendahului.
Bahagia usai duka juga bisa ditilik melalui interaksi manusia dan alam. “Persembahan Rakyat untuk Bromo” menakhlikkan suka cita di padang pasir, area Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Warga menari mensyukuri berkah hidup sembari berharap kesialan-kesialan senantiasa jauh pergi. Kawasan yang sempat mati suri akibat Erupsi dan pandemi Covid-19 ini bergeliat kembali, menunggu untuk didatangi. Melalui “Crowded Before Sunrise at Bromo”, kembalinya suasana riuh antusias untuk menikmati keindahan matahari terbit di Gunung Bromo makin terasa. Usai malam yang gelap, akan disusul pagi yang cerah. Waktu yang tepat untuk “Nglampah” dan menyerap hangatnya sinar matahari, sambil mengingat kembali tujuan bangkit disetiap pagi.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, meskipun ada dua kubu yang berseberangan, mungkin sebenarnya ada ruang di antara keduanya yang dapat ditempati untuk merenung sejenak. Merenung dan membayangkan kenikmatan dan kenyamanan guna memelihara cahaya optimisme, memulihkan diri dan bangkit dari kancah kesengsaraan. Bagai bibit bulan yang mulai muncul, saat matahari belum ruyup benar. Mari menikmati ode tentang kebangkitan dalam seni media rekam.
Tim Kuratorial
Fransiskus Xaverius Ario Setyoajie, Rifandi Novria Lutfi, Adelia Putri Mitayani, Hanafi Salman Ayyuba, Arya Rizal Afrianto, Iwang Arilo Putra, Dwi pujiyantoro , Gandang Asadillah Mansur, Gandhi Yusuf Qordhowi, Arsya Kilau satria, Muhammad Rifqi, Anjania Nanda Pithaloka, Muh Fajrul Ikhsan, Abiyyu Ramadhani, Muhammad Syauqi Alibasya K. S.